Curahan Hati di Balik Tirai Air, Mengabadikan Tiap Momen Mustajab

Seringkali, di tengah hingar-bingar berita nasional, kita mendapati diri terhenti sejenak oleh suara yang akrab: hujan. Bau tanah basah menyeruak bak aroma nostalgia. Deras atau rintik, air yang jatuh dari langit ini selalu membawa serta sebuah jeda, sebuah undangan untuk merenung. Dalam keyakinan spiritual yang mengakar kuat di masyarakat, momen turunnya hujan bukan sekadar siklus cuaca; ia adalah waktu emas, sebuah fase di mana harapan dan permohonan terasa lebih mudah mencapai langit.

Kesadaran kolektif ini, yang sering disuarakan melalui konten-konten keagamaan di media massa, menegaskan bahwa waktu hujan adalah privilege spiritual yang hadir secara tiba-tiba. Ia adalah pintu munajat yang dibuka lebar, menjanjikan kesempatan istimewa bagi setiap individu untuk menyampaikan hajat-hajat terdalamnya. Rasanya, suasana sendu dan suara air yang membasahi bumi menciptakan frekuensi batin yang lebih tenang, menjauhkan kita dari kebisingan dunia yang seringkali menipu.

Hujan mengajarkan kita tentang kemurahan dan kekuasaan alam yang luar biasa. Ia adalah anugerah yang mutlak dan tak dapat diatur oleh tangan manusia. Melihat bumi yang tadinya kering menjadi basah, dan segala kehidupan yang menyambutnya dengan lega, kita didorong pada rasa syukur yang murni. Namun, kebijaksanaan juga mengajarkan kita untuk bersikap seimbang. Kita dituntut untuk menyambut air sebagai rahmat, sekaligus memohon agar dampaknya tidak membawa kesulitan atau bencana. Ini adalah dialog hati yang jujur, antara menerima dengan lapang dada dan memohon perlindungan dengan penuh harap.

Momen di balik tirai air inilah yang mendorong kerendahan hati (tawadu'). Ketika kita melihat ke luar jendela, segala ambisi dan kesibukan duniawi sejenak terasa kecil. Kita dipaksa untuk mengakui adanya kekuatan yang jauh lebih besar dari diri kita sendiri, kekuatan yang mengendalikan setiap tetes air, setiap kilatan petir. Suasana puitis yang tercipta ini menjadi waktu terbaik untuk menyaring kembali keinginan dan kebutuhan kita. Apakah hajat yang kita panjatkan benar-benar esensial? Atau sekadar keinginan sesaat yang terdorong oleh nafsu dunia? Ah, memang air yang turun, tapi tetap kita melindungi diri saat melewatinya.

Pada akhirnya, kesadaran akan waktu mustajab saat hujan adalah pengingat yang indah. Ia membuktikan bahwa dalam kesederhanaan fenomena alam, terkandung janji spiritual yang agung. Hujan mengajak kita semua untuk menghentikan laju sejenak, mengambil posisi paling intim dengan hati kita, dan berbisik ke langit, meyakini bahwa di bawah guyuran air, setiap kata memiliki bobot yang berbeda, dan setiap harapan menemukan jalannya. Ayo berdoa, mumpung hujan masih mengguyur.

oleh: Subhan Hariadi - Kolumnis Damaiindonesiaku.id tvOne

Komentar (0)

Jon Wilime